Selasa, 17 September 2013

Maya dan Nyata

Menapak jalan berkelok-kelok. Diperbatasan desa kumuh penuh misteri, bagaimana tidak misteri, rumah-rumah hampir tak layak disebut sebagai rumah. Tidak berjendela, halamannya penuh dengan barang-barang yang entah bekas atau malah masih layak pakai pun aku tak mampu membedakannya. Tidak beraturan. Gubuk derita, mereka menamakannya demikian. Mampir lah daku laksana pengembara letih pulang dari hutan belantara. Ternyata keadaan di luar rumah tak jauh beda. Segala sesuatunya tidak beraturan. Asal ada saja tempat tidur, dan 3 meter ke belakang tampaklah kuali dan sejenisnya memenuhi ruangan itu. Lirikanku tadi memastikan kata hatiku, ya benar, itu dapur. Sempat hati terguncang bagai letusan merapi. Masihkah ada tempat seperti ini ditengah megahnya negaraku yang telah sekian lama merdeka? Ini lebih-lebih di zaman penjajahan. Ohhh God!!! 

Betapa bangganya aku yang selama ini duduk diatas sofa empuk. Menghabiskan wakti-waktuku duduk dengan segelas the manis hangat dan beberapa bahan bacaan. Tak lupa alat elektronik miniku yang menghubungkanku dengan seluruh insane penghuni dunia. Disana di dunia yang maya telah banyak memayakan diriku yang tidak maya, ataukah bahkan sudah maya di dalam tindakan? Koneksi yang begitu luas hingga aku hanya dapat melihat tanpa menindak. Bagaimana mereka ini dan anak-anak mereka dapat merasakan arus globalisasi yang begitu kencang. Sedang untuk makan dan minum saja mereka sudah sangat bersyukur.   Akhh… kucubit kembali lenganku, aku tidak mimpi kan??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar