Menapak
jalan berkelok-kelok. Diperbatasan desa kumuh penuh misteri, bagaimana tidak
misteri, rumah-rumah hampir tak layak disebut sebagai rumah. Tidak berjendela,
halamannya penuh dengan barang-barang yang entah bekas atau malah masih layak
pakai pun aku tak mampu membedakannya. Tidak beraturan. Gubuk derita, mereka
menamakannya demikian. Mampir lah daku laksana pengembara letih pulang dari
hutan belantara. Ternyata keadaan di luar rumah tak jauh beda. Segala sesuatunya
tidak beraturan. Asal ada saja tempat tidur, dan 3 meter ke belakang tampaklah
kuali dan sejenisnya memenuhi ruangan itu. Lirikanku tadi memastikan kata
hatiku, ya benar, itu dapur. Sempat hati terguncang bagai letusan merapi. Masihkah
ada tempat seperti ini ditengah megahnya negaraku yang telah sekian lama
merdeka? Ini lebih-lebih di zaman penjajahan. Ohhh God!!!
Betapa bangganya
aku yang selama ini duduk diatas sofa empuk. Menghabiskan wakti-waktuku duduk
dengan segelas the manis hangat dan beberapa bahan bacaan. Tak lupa alat
elektronik miniku yang menghubungkanku dengan seluruh insane penghuni dunia. Disana
di dunia yang maya telah banyak memayakan diriku yang tidak maya, ataukah
bahkan sudah maya di dalam tindakan? Koneksi yang begitu luas hingga aku hanya
dapat melihat tanpa menindak. Bagaimana mereka ini dan anak-anak mereka dapat
merasakan arus globalisasi yang begitu kencang. Sedang untuk makan dan minum
saja mereka sudah sangat bersyukur. Akhh… kucubit kembali lenganku, aku tidak
mimpi kan??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar